A.
Sejarah dan Perkembangan Agama Jain
Jain bermakna
penaklukan.Dimaksud penaklukan kodrat-kodrat syahwati di dalam tata hidup
manusiawi.[1]
Salah satu filsuf berkata “ Jain adalah gerakan rasionalisme yang bebas dari
kekuasaan Weda kitab suci umat Hindu dan terbentuk dari karakter umum
masyarakat Hindu. Paham ini terbentuk karena rasa takut terhadap reinkarnasi
dan pelarian dari kesialan hidup. Berawal
dari asketisisme dalam hidup karena khawatir bahaya mengancam.Jainisme
berpegang pada latihan rohani yang melelahkan dan kontrol yang sulit.Poinnya
adalah tidak peduli pada kenikmatan dan penderitaan. Caranya
dengan menjalani hidup dalam kesengsaraan dan kekerasan. Selain
itu, dengan menjadi seorang rahib (pendeta) tetapi bukan Brahma.[2]
Jain muncul
sebagai reaksi atas sikap eksrem Hindu dalam hal diskriminasi lapisan sosial
(kasta). Akibat sebagian ajaran Hindu, masyarakat digeser kedalam medan konflik
antar-lapisan
sosial. Mereka terjebak diantara api kedengkian dan kebencian. Jainisme
menyangkal sebagian ajaran Hindu, terutama dalam hal kasta yang dinilai
berbahaya bagi masyarakat. Seruan baru ini mendapat dukungan penuh dari banyak
pihak.Namun, meski sikap Jainisme tanpa seperti gerakan reformasi, pengaruhnya
tidak banyak menyentu masyarakat. Mayoritas penduduk India masih berpegang pada
doktrin Hindu. Jumlah pengikut Jainisme pun
terbilang sedikit yang menurut perkiraan hanya berjumlah sejuta orang.[3]
Dialah
Vadharmana, orang pertama yang mendirikan Jainisme. Umat Jain biasa
memanggilnya Mahavira (599-527 SM). Mahavira
lahir dari keturunan golongan Ksatria yang memegang kendali politik dan
ketentaraan. Mahavira
dibesarkan dirumahnya yang penuh dengan kebesaran, di tengah-tengah kemewahan
dan kesenangan.Keluarganya tinggal di Pisarah berdekatan dengan sebuah Bandar
yang sekarang dinamakan Patna di wilayah Bihar. Bapaknya,
Sidartha adalah seorang anggota ketentaraan. Sidartha
telah menikahi dengan anak perempuan ketua mejelis Tris Sala.
Kedudukan
Sidartha menjadi semakin tinggi hingga sebagian riwayat menyifatkannya sebagai
Amir Bandar atau Rajanya. Mahavira
adalah anak laki-laki yang kedua. Rumah
ayahnya dijadikan tempat tujuan para pemuka agama dan para ahli ibadah. Sebab,
di tempat itu mereka menemukan jamuan paling enak dan penyambutan yang hangat.
Mahavira mulai
senang mendengarkan cerita dan perbincangan mereka. Dia
berharap bisa bergabung dengan mereka, tetapi kedua orang tuanya melarang. Mahavira
pun mengubur harapannya itu karena mengetahui orang tuanya sangat menentag
kerahiban. Setelah sang ayah meninggal dan kekuasaan kota diserahkan kepada
kakaknya, mahavira meminta izin sang kakak agar merestui dirinya menapaki jalan
kerahiban. Sang kakak pun mengizinkan.Setelah itu, Mahavira mulai melepas
pakaian mewahnya dan menggantinya dengan pakaian orang-orang ahli badah dan
pakaian pendeta.
Keesokan
harinya, mahavira melintasi semua bagian kota sambil merenung dan berfikir. Dia
mulai mengurangi makanan dan minuman serta hidup dari pemberian orang. Setelah
menjalani masa kerahiban selama
13 bulan, dia melepas seluruh pakaiannya dan berjalan telanjang tanpa sehelai
kain pun. Hal tersebut
dilakukannya karena telah mencapai tahap kecerahan spiritual. Dia
tak lagi memiliki rasa malu, sakit, senang, ataupun gembira.
Mahavira terus
menjalani pelatihan nafsu dan rohani selama 12 tahun hingga menjadi sebagaimana
yang diucapkan para pengikutnya—seseorang yang tidak lagi peduli akan rintangan
seberat apapun. Setelah sampai pada tingkat tersebut, mahavira lantas beranjak
ke tingkat selanjutnya: mengajak manusia untuk mengikuti ajaran dan madzhabnya.
Beruntung, masyarakat menyambut seruannya karena waktu itu mereka resah dengan
paham Hindu yang berlebihan.
Kemudian,
Mahavira mengajak keluarga, kerabatnya, serta penduduk kota. Mereka pun
memenuhi seruannya tersebut. Dia
terus menyeru masyarakat hingga umurnya genap 72 tahun. Selepas itu, dia
singgah di kota Penaporedi wilayah Patna. Mahavira memberikan 55 khotbah kepada
masyarakat dan menjawab 36 pertanyaan yang tidak ditanya. Setelah
itu, mahavira menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 527 SM.[4]
B.
Ajaran dan Praktek Kegamaannya
Jainisme tidak
lain adalah gerakan revolusioner terhadap sebagian ajaran Hindu yang pengaruhnya
meresahkan masyarakat. Sistem kasta telah menciptakan benih permusuhan dan
kebencian antar-golongan. Jiwa masyarakat yang tadinya bersatu, diguncang
dengan kedenkian satu sama lain karena system pelapisan social yang ekstrem
tersebut.
Ketika system
kasta tersebut, menurut keyakinan Hindu dianggap sebagai kehendak dewa,
mahavira menentangnya.Akibat penentangannya itu, Jainisme dianggap sebagai
aliran atheis. Dari sini
terjadilah kekosongan besar pada agama Jain karena sikap mahavira tidak
mengakui dewa, padahal pengakuannya tersebut bisa menyempurnakan aliran baru
yang diserukan itu. Hal inilah yang
pada dewa sebagai tuhan mereka.
Para pengikut
Jain berpendapat bahwa Agama Jain adalah suatu mazhab yang amat lama dan telah
cukup sempurna tatkala berada pada tangan Jain yang ke 24. Jain
yang pertama namanya Rasabha, lahir sejak zaman purbakala dan sejarah tidak
menyebutkan sesuatu tentangnya, hanya sebagian kisah dongen saja yang
menghubungkannya. Setelah itu timbullah Jain-Jain yang lain, seorang demi
seorang, hingga lahir dua orang Jain terakhir dalam tingkat zaman sejarah. Yang
pertama adalah Jain yang ke 23 namanya Parsuanath yang dilahirkan pada abad ke
9 SM dan mati pada abad ke 8 SM.[5]
Dia telah mendirikan suatu lembaga ketuhanan yang dikaitkan dengan keperluan
latihan-latihan yang berat. Dia membagi pengikutnya menjadi dua bagian, yaitu
golongan khusus dan golongan umum.
Lahirlah
Mahavira dan dia-lah Jain yang
ke 24. Dia menganut
prinsip-prinsip Parsunath dan menambahkan lagi dengan pikiran-pikiran,
pengalaman, dan ilhamnya. Kedudukan
Mahavira menjadi tinggi dan aliran ini terkenal dengan namanya serta lembaga
tersebut dikenal dengan gelarnya. Agama Jain dikenal kecuali berpadu dengan
namanya.
Diantara
kepercayaan Jainisme adalah tidak mengakui system kasta. Kala
itu, setiap orang berusaha untuk terbebas dari kasta yang kemungkinan kecil
hanya didapat dengan bekerja. Pada sisi lain, Jainisme melihat bahwa kemampuan
manusia tentu berbeda dalam menanggung dan menjalankan ajarannya. Karena itu, mereka
membagi manusia menjadi dua golongan sesuai kemampuan: golongan khusus dan
golongan umum (awam).
Golongan khusus
adalah pendeta-pendeta, orang-orang pertapa yang mengamalkan latihan-latihan
berat dan pengharaman diri serta meninggalkan keluarga dan rumah karena
menjelajahi negara-negara, kota-kota, dan kampung-kampung.Golongan ini adalah
tulang punggung lembaga tersebut.Demi mendapatkan keselamatan sejati. Sehingga
mereka rela berjalan keliling kota dengan tubuh telanjang, tanpa busana apapun
dan alas kaki serta menderita, sakit, lapar, hina dan miskin.
Sementara
golongan umum adalah mereka yang mengambil jalan yang dilalui oleh orang-orang
khusus tadi. Mereka
tidak melakukan latihan yang berat dan melelahkan, tetapi mereka berkewajiban
menyanggupi semua ajaran Jainisme, seperti menjaga para arwah meski itu arwah
seekor serangga sekalipun. Mereka
beretika dengan akhlak dan perilaku orang-orang Jain dan harus bersedekah
kepada para pedeta. Salah satu kepercayaan Jain yang sesuai dan sama dengan
Hinduisme adalah pendapat tentang reinkarnasi dan adanya kelahiran berulang
pada orang yang sama.[6]
Jainisme
didirikan dan dikembangkan oleh 24 orang Tirthankara. Tirthankara adalah
seorang yang menyeiaka kapal yang besar untuk menyebrangi luasnya lautan
Samsara. Kapal itu adalah Dharma dan Tirthankara itu adalah objek ibadahnya,
yang merevitalisasi ajaran Dharma di dunia.[7]
Ajaran agama Tīrthaṅkaras
membentuk dasar untuk Jain kanon. Pengetahuan batin Tīrthaṅkara sempurna dan identik dalam segala hal dan
ajaran mereka tidak bertentangan satu sama lain. Namun,
tingkat elaborasi bervariasi sesuai dengan kemajuan spiritual dan kemurnian masyarakat
selama periode kepemimpinan mereka. Semakin tinggi kemajuan
spiritual dan kemurnian pikiran masyarakat, semakin rendah elaborasi yang dibutuhkan. Sementara Tirthankaras
didokumentasikan dan dihormati oleh orang-orang iman Jain, kasih karunia mereka dikatakan tersedia bagi makhluk hidup, terlepas dari orientasi keagamaan.
Tirthankaras tinggal
secara eksklusif dalam bidang Jiwa mereka, dan sama sekali bebas dari kashayas, nafsubatin, dan keinginan pribadi. Sebagai hasil
dari ini, terbatas siddhi, kekuatan
spiritual, yang tersedia bagi mereka- yang mereka
gunakan secara eksklusif untuk peningkatan rohani dari makhluk hidup. Melalui darshan, visi Ilahi, Dandeshna, ucapan Ilahi, mereka memberikan negara mereka sendiri Keval Gnan, dan moksha, pembebasan akhir untuk orang
mencari dengan tulus. Pada akhir manusia masa
kehidupannya, seorang Tīrthaṅkara mencapai Statussiddha,
mengakhiri siklus kelahiran dan kematian yang tak terbatas.
Jainisme mendalilkan
waktu yang tidak memiliki awal atau akhir. Ini bergerak seperti roda gerobak. Jain percaya bahwa tepat dua puluh empat Tīrthaṅkaras dilahirkan pada
tiap babak-siklus waktu di bagian
alam semesta. Yang pertama adalah Tīrthaṅkara Rishabha,
yang dikreditkan untuk merumuskan dan mengatur manusia untuk hidup
dalam masyarakat harmonis. Tanggal 24 dan terakhir Tīrthaṅkara
adalah Mahavira (599-527 SM). Digambara
Jain percaya bahwa Tīrthaṅkara adalah laki-laki, tapi Svetambara
Jain percaya bahwa ke-19 Tīrthaṅkara, Mallinath, adalah seorang wanita. Gambar Tīrthaṅkara biasanya duduk dengan kaki disilangkan
di depan, jari-jari kaki dari satu kaki beristirahat dekat
pada lutut yang lain, dan tangan kanan berbaring di atas
kiri dipangkuan. Dalam tradisi Jain Tīrthaṅkaras yang royal
dalam kehidupan terakhir mereka, dan Jain tradisi rincian
catatan kehidupan mereka sebelumnya, biasanya sebagai royalti.
Klandan keluarga mereka jugadi antara mereka tercatat dalam sangat
awal, atau legenda, sejarah Hindu.
Semua kecuali dua dari Jain dianggap berasal dari dinasti Ikshvaku.
Munisuvrata, kedua puluh, dan Neminatha, dua puluh dua, yang dari Harivamsa tersebut. Jain kanon menyatakan
bahwa Rishabha, yang Tīrthaṅkara pertama,
didirikan Ikshvaku tersebut.
Dua puluh Tīrthaṅkaras mencapai status siddha di Shikharji.
Vasupujya mencapai nirwana Champapuri di Bengal Utara, Neminatha
pada Girnardi Gujarat, dan Mahavira, yang terakhir di Pawapuri, dekat ibukota Biharmodern,
Patna.
Dua puluh satu dari Tīrthaṅkaras dikatakan telah mencapai moksha
di kayotsarga (meditasi berdiri) postur,
sedangkan Rishabha, Nemi dan Mahavira dikatakan
telah mencapai moksha dalam posisi lotus.[8]
Nama – Nama Dewa
Dalam Agama Jain
1 Rishabha
|
13 Vimalnath
|
2 Ajitnath
|
14 Anantnath
|
15 Dharmanath
|
|
16 Shantinath
|
|
17 Kunthunath
|
|
18 Aranath
|
|
19 Mallinath
|
|
20 Munisuvrata
|
|
21 Nami Natha
|
|
10 Sheetalnath
|
22 Neminatha
|
23 Parshva
|
|
12 Vasupujya
|
24 Mahavira
|
Pokok Ajaran Agama Jainisme
Mahavira mengajarkan bahwa kebebasan itu
terpendam di dalam diri manusia sendiri.Yaitu :
1.
Kebebasan dari Karma
maksudnya adalah yakni sebab-akibat dari
tindak laku manusiawi. Dan kaum Jain menganggap bahwa setiap orang terikat
dengan karma, atas perbuatan jahat yang dilakukan setiap manusia, berbeda
dengan agama Hindu dan Buddha yang menganggap bahwa karma itu ada karma baik dan karma buruk, yaitu
apabila seseorang meloki
perbuatan baik maka ia akan mendapatkan karma yang baik dan sebaliknya.
Sedangkan kaum Jain, kaum Jain hanya memiliki satu karma saja yaitu hanya karma
buruk saja.
2.
Kebebasan dari samsara
maksudnya adalah hidup berulang kali kedunia yang semua itu merupakan denta. Kebebasan
itu bukan dengan mempersembahkan korban sesewaktu, dan bukan pula dengan
mempersembahkan sesajen didepan berhala.[9]
v Kaum Jain juga memiliki prinsip- prinsip, yaitu diantaranya :
a. Ahimsa yaitu tidak melakukan tindakan yang merugikan mahluk hidup
lainnya, seperti membunuh binatang, tumbuhan dll. Memang kalau dipikir
dengan logika, kita tidak akan pernah bisa untuk tidak melakukan yang seperti
itu, karena apabila kita tidak memanfaatkan seperti tumbuhan dan binatang
sebagai kebutuhan menusia seperti untuk makan misalnya, apa kita bisa makan
dengan tidak menggunakan pokok makan dari tumbuhan dan hewan, Lalu bagaimana
orang Jain menanggapi tentang konsep ini? Lalu muncul jawaban memang
tidak bisa dan, tapi semua itu dapat diminimalisirkan seperti dengan berpuasa,
ada satu prinsip bahwa seseorang berpuasa sampai dia meninggal, dan orang
seperti ini dianggap telah mencapai kebebasan dimana dia telah berengkarnasi.
b. Satia yaitu kebenaran berbicara yang bermaksud tidak berbohong kapada
sesama mahluk, karena juga kita ketahui bahwa berbohong adalah merugikan orang
lain.
c. Asetya yaitu mencuri, dengan sesama manusia dalam faham kaum Jain dilarang
untuk mencuri, sama seperti pada hukum hukum yang ada bahwa muncuri merugikan
orang lain.[10]
Mahavira
menyimpulkan seluruh pokok ajarannya pada Tiga Ratna Jiwa (The Three Jewels of
Soul), yaitu :
1.
Pengetahuan
yang benar
2.
Kepercayaan
yang benar
3.
Tindakan
yang benar
Tindakan yang
benar itu mestilah berazaskan Lima Sumpah Terbesar (Five Great Vows),[11]yaitu
:
1.
Jangan
membunuh sesuatu yang hidup
2.
Jangan
mencuri
3.
Jangan
berdusta
4.
Jangan
hidup bejat
5.
Jangan
menghasratkan apapun
1.
Konsepsi
tentang tuhan
Agama jain atau
jainisme menolak adanya tuhan yang dianggap sebagai pencipta atau penguasa
dunia ini. Walaupun demikian menurut hut chison, paham jainisme tidak termasuk
atheis, melainkan disebut non-teisme. Penyebutan ini didasarkan pada corak pada agama tersebut tentang apa yang disebut
tuhan. Agama Jain mengakui keberadaan apa yang disebut sang “Maha Kuat”, namun
mengatakan bahwa sang maha kuat tersebut termasuk pula manusia, semuanya
terbelenggu dalam alam dosa dengan sedikit atau tanpa ada kesempatan untuk
melarikan diri darinya.[12]
Para pakar
telah mencoba meneliti mengapa jainisme menolak tuhan, namun mereka baru
memperkirakan saja mengenai sebab tersebut.Yakni yang pertama. Jainisme merasa tuhan-tuhan itu tidak ada
perlunya karena manusia sendiri mampu mencapai kelepasan melalui kekuatannya
sendiri tanpa harus bergantung secara neurotic terhadap kekuatan-kekuatan lain
diluar dirinya. Kedua, karena
tuhan-tuhan itu malah seolah-olah dianggap sebagai hal yang dijelaskan
berdasarkan prinsip-prinsip irasional.[13]
Sebab lainnya
yang perlu dopertimbangkan adalah latar belakang krisis politik dan kemerosotan
kemasyarakatan pada saat itu. Kemudian
Pentingnya upacara korban dan pentingnya kedudukan para Brahmana sebagai tulang
punggung sistem kasta.[14]
2.
Konsepsi
tentang alam
Jainisme
menganut filsafat dualisme, yaitu membagi alam semesta ini menjadi dua
kategori: zat yang hidup (jiva) dan zat yang tidak hidup (ajiva). Ajiva
memiliki lima substansi yaitu benda (pudgala), dharma, adharma, ruang (akasa)
dan waktu (kala). Unsure jiva dan keenam unsure ajiva tersebut disebut denga
enam dravya.
Menurut agama
ajarang agama jain substansi jiva dan ajiva adalah kekal, tidak diciptakan,
tidak ada permulaan dan tidak berakhir. Atau dengan kata
lain tidak ada sebab pertama yang menyebabkan terjadinya substansi-substansi
tersebut.
Kemudian selain
pembagian menurut kedua kategori tersebut, maka dari sudut pandang lain
berbeda, substansi-substansi tersebut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi dua
yakni astikaya dan nastikaya.[15]
Menurut
kosmologi Jainisme alam semesta ini adalah abadi, alam semesta ini bergerak
melalui satu lingkaran terus-menerus dari stau tempat yang ideal menuju kearah
titik bawah lalu dilanjutkan menaik lagi melalui titik atas dan begitu
seterusnya. Menurut agama Jain alam semesta ini bergerak bukan karena adanya
tuhan melainkan bergerak secara mekanistis belaka.[16]
3.
Konsepsi
tentang karma
Jainisme tetap
menerima ajaran tentang karma-samsara dalam pemikiran tradisional India, dan
mengajarkan bahwa karma terjadi
karena tercampurnya jiva dan ajiva. Konsep karma dalam Jainisme berpangkal pada prinsip dualism antara jiwa
dan benda, atas dasra prinsip tersebut, menurut Jainisme tubuh manusia itu
memenjarakan jiwanya.
Menurut Jainisme
karma adalah energy jiwa yang dengan energy itu menyebabkan penggabungan jiwa
dan benda dan kekotoran berikutnya dari jiwa itu. Menurut Jain karma bisa
dibersihkan, prose pembersihan karma disebut dengan nirjana, jika proses
nirjana ini berjalan terus tanpa rintagan maka pada akhirnya semua karma akan
tercabut dari jiwa dan akan mencapai tujuan utama hidup.[17]
C.
Sekte
di dalam Agama Jain
Sekitar tahun
310 SM. Terjadilah perpecahan paham dan pendirian dalam kalangan agama Jain
itu, yakni lebih kurang 3 abad sepeninggalan Mahavira (599-527 SM).Perpecahan
itu disebabkan musim paceklik di India utara. Sejumlah 12.000 orang dari jemaat
Jain itu, di bawah pimpinan Bhadrabahu, melakukan perpindahan menuju belahan
selatan India, berdiam dan menetap dalam wilayah Mysore. Dengan begitu jemaat
Jain itu telah terpecah dua, yaitu belahan utara dan belahan selatan. Belahan
utara itu beriklim dingin dan belahan selatan beriklim panas. Didalam
wilayah yang beriklim panas itu pakaian tidaklah diperlukan. Sedangkan
jemaat Jain bagian belahan utara lebih mengutamakan bertarak dan bertapa, yakni
hidup secara asketik.
Sekitar tahun
82 M baharulah perpecahan itu menjadi resmi disebabkan masalah pakaian. Jemaat
Jain yang mendiami wilayah pada belahan Utara pegunungan Vindaya, yang bersuhu
sejuk itu, selalu mengenakan pakain putih. Jemaat
Jain itulah yang dipanggilkan dengan sekte Svetambara, yakni jemaat yang berpakaian
putih.
Tetapi jemaat
Jain yang mendiami wilayah pada belahan Selatan pegunungan Vindhya itu, yang
sepanjang tahun beriklim panas, tidak mengenakan pakaian sehelai
benang pun. Jemaat
Jain itulah yang dipanggilkan dengan sekte Digambara, yakni jemaat yag bertelanjang
bugil bagaikan langit.
Masalah pakain
itu lantas menjadi masalah keagamaan yang meruncing sangat tajam antara kedua
sekte. Sekta
Digambara itu beralaskan sikap hidup Mahavira di dalam pengembaraannya, yang tidak
ambil pusing dan tidak perduli
terhadap kebutuhan duniawi.
Sekte Digambara
memiliki tatanan moral yang lebih keras dibanding Svetambara. Tidak seperti
Svetambara, Digambara tidak mempercayai jika wanita dapat mencapai
kelepasan/kebebasan jiwa sampai mereka terlahir/dilahirkan kembali sebagai
seorang laki-laki. Menurutnya, hanya kaum laki-laki saja yang daat mencapai
kelepasan jiwa.[18]
Tetapi semenjak
abad ke 7 M, yakni semenjak anak Benua India itu berada di bawah kekuasaan
Islam, demikian Robert E. Hume, Ph.D. di dalam bukunya Wordl’s Living Religions edisi 1930 halaman 52, maka anggota jemaat Digambara itu mulai
dipaksakan mengenakan pakaian, setidak-tidaknya mengenakan cd.[19]
Kedua sekte ini
pun mempunyai perbedaan pandangan tentang sifat Jina, tidak seperti Svetambara,
Digambara mempercayai bahwa Jina tidak membutuhkan makanan, tidak mempunyai
fungsi tubuh maupun membawa beberapa fungsi-fungsi duniawi.[20]
Perbedaan
lainnya antara kedua sekte tersebut adalah pandangan mereka tentang kepemilikan
duniawi. Digambara mempercayai bahwa seseorang itu dapat mencapai kelepasan
spiritual hany dengan meninggalkan/melepaskan kepemilikan terhadap sesuatu yang
bersifat keduniawian.[21]
D.
Kitab
Suci Agama Jain
Kitab suci di
dalam agama Jain (Siddhanta) itu bermakna : pembahasan. Dan kitab suci Jain bisa disebut dengan nama
Agamas yang bermakna : perintah, ajaran, dan bimbingan.[22]
Kitab suci Jain hanyalah sekumpulan 55 khotbah mahavira,
beberapa pidato dan wasiat yang berhubungan dengan para murid, pendeta, dan
ahli ibadah aliran tersebut. Warisan ini turun-temurun berpindah secara lisan
yang baru terkumpul pada abad ke-4. Pada waktu itu, para pemuka agama Jain
berkumpul di kota Paleopatra. Mereka berdiskusi perihal kodifikasi warisan
mahavira tersebut karena khawatir hilang dan tercampur dengan sesuatu yang
lain. Mereka mengumpulkan sebagian isi kitab dalam beberapa buku dan berselisih
tentang sebagian sumbernya.Namun, mereka belum berhasil menyatukan suara
masyarakat guna menyepakati rencana kodifikasi tersebut.
Oleh karena
itu, penulisan undang-undang Jainisme ditunda sampai tahun 57 M. akhirnya,
mereka membukukan sebagian naskah yang didapatkan setelah cukup banyak kehilangan
warisan tersebut. Pada abad ke-5 M, mereka menyelenggarakan pertemuan lain di
kota Welapehi yang menyepakati pendapat terakhir tentang warisan Jainisme yang
mereka anggap suci. Kali pertama, buku tersebut ditulis dalam bahasa Ardaha
Majdi, (bahasa kepustakaan
sebelum masehi) kemudian ditulis dengan
bahasa Sanskerta pada abad-abad Masehi. Selain itu orang Jain juga percaya
dengan permata yakut yang tiga atau bisa disebut Tiga Ratna Jiwa diantaranya
yaitu,
1.
Permata
atau mutiara yang pertama adalah itikad yang sah, dialah puncak penyelamatan.
Maksud mereka adalah percaya kepada para pemimpin Jain yang dua puluh empat
itu. Itulah aturan yang dipuja dan jalan yang lurus. Itikad yang sah tidak ada
kecuali setelah diri terlepas dari kotoran-kotoran dosa yang melekat padanya
dan yang menghalangi sampainya ruh kepada itikad ini.
2.
Permata
atau mutiara yang ke dua adalah ilmu yang benar, maksudnya adalah pengetahuan
mengenai alam dari kedua segi rohaninya dan kebendaan serta membedakan diantara
keduanya. Martabat pengetahuan ini berlainan menurut kekuatan penglihatan hati
dan kejernihan ruh. Seseorang yang memisahkan pengaruh dari kekuatan rohani
serta sinarnya dapat melihat alam dalam bentuk yang sebenarnya, segala hakikat
terbentang di depannya, tabir-tabir tebal tersingkap darinya yang
menyebabkannya dapat membedakan antara kebenaran dan kesalahan, antara sangkaan
dan keyakinan. Dia tidak diraguhkan oleh apapun . Ilmu pengetahuan yang benar
ada sesudah itikad yang sah.
3.
Permata
atau mutiara yang ketiga adalah akhlak yang benar, maksudnya adalah bersifat
dengan akhlak Jain seperti melakukan kebaikan meninggalkan keburukan, tidak
membunuh, tidak berbohong, tidak melakukan pencurian, tidak melakukan
kecurangan dan berzuhud dengan barang-barang kepunyaan sendiri.
Ketiga mutiara
ini saling berkaitan.Tatkala seorang manusia itu telah sempurna maka dia
mendapati suatu kenikmatan dan kebahagiaan yang tidak dapat ditandingi oleh
kenikmatan dan kebahagiaan manapun.[23]
v Prinsip-prinsip
Utama untuk Pembersihan Ruh
Para pengikut
Jain meletakan tujuh asas utama untuk membersihkan ruh.Asas-asas ini adalah
dianggap puncak atau sumber prinsip-prinsip Agama Jain.Asas-asas ini adalah
sebagai berikut.
1.
Membuat
pengakuan dan perjanjian kepada para pemimpin dan pendeta-pendeta bahwa
hendaklah murid itu berbudi pekerti baik dan membuang segala kelakuan yang
buruk.
2.
Bertakwa,
yaitu hendaklah senantiasa berhati-hati ketika berbicara dan bekerja, dan pada
segala gerak-gerik dan juga waktu berdiam. Tidak menyakiti atau membahayakan
makhluk apapun yang hidup walau hina sekalipun.
3.
Mengurangi
gerakan badan, bicara, berfikir tentang hal-hal dunia yang jasmani sehingga
masa dan napas-napas yang berharga tidak terbuang pada perkara-perkara yang
kecil.
4.
Menghiasi
diri dengan sepuluh perkara yang menjadi puncak kebaikan dan jalan
kesempurnaan, yaitu pemaaf, benar, lurus, merendahkan diri, bersih, menahan
nafsu, berhemat lahir dan batin, berzuhud, meninggalkan perempuan, dan tidak
mementingkan diri sendiri.
5.
Pemikiran
terhadap hakikat utama mengenai alam dan jiwa. Sebagian masalah alam dan
masalah jiwa dapat dicapai dengan panca indra yang bersifat kebendaan, dan
sebagiannya dapat dicapai dengan kaca mata akal.
6.
Mengatasi
kesulitan hidup dan segala kedukaannya yang timbul dari gejala-gejala jasmani
atau kebendaan, seperti rasa lapar, dahaga, sejuk, panas, dan segala hawa nafsu
yang bersifat kebendaan itu. Haruslah dia menegakkan suatu tembok yang kukuh
disekelilingnya agar terlepas dari gejala-gejala dan panca indra dan dari
pengaruhnya.
7.
Kepuasan
yang sempurna, ketenangan, budi pekerti yang baik, kebersihan lahir dan batin.[24]
Agama Jain
beranggapan bahwa prinsip-prinsip ini melepaskan manusia dari ikatan yang
mengikatnya dengan kehidupan serta merampas ketegangan pikiran dan hatinya. Seandainya
seseorang bersifat dengan sifat-sifat yang tujuh ini maka dia sikeluarkan dari
kegelapan yang menyelubunginya disebabkan kedukaan hidup di dunia.
1.
Tentang Epsitemologi
Dalam aspek
epistemologi, jaina menolak pandangan carvaka bahwa persepsi hanyalah
satu-satunya sumber valid munculnya pengetahuan. Jika kita menolak kemungkinan
memperoleh pengetahuan benar melalui inferensi dan testimoni orang lain, kita
semestinya meragukan validitas persepsi, karena sekalipun persepsi
kadang-kadang bisa bersifat ilusi. Padahal carvaka sendiri memakai inferensi
(anumana) ketika mengatakan bahwa semua inferensi adalah invalid, dan juga
ketika mereka menolak eksistensi objek-objek karena mereka tidak dilihat.
Disamplng persepsi, jaina menerima inferensi dan testimony (sabda) sebagai
sumber pengatahuan valid. Inferensi menberikan pengetahuan valid ketika ia
mengikuti kaidah-kaidah logis yang tepat. Testimoni valid ketika ia merupakan
laporan otoritas terpercaya. Atas otoritas ajaran-ajaran orang-orang suci yang telah terbebaskan (jaina atau
tirthankara) orang-orang pengikut ajaran ini mendapatkan pengetahuan yang benar
yang tidak dapat diperoleh oleh orang yang masih terbatas. Testimoni Tirthankara
ini tidak diragukan lagi ke-validan-nya.[25]
Jaina
mengklasifikasikan pengetahuan menjadi, pengetahuan langsung (aparoksa) dan
pengetahuan antara (paroksa).Pengetahuan langsung lebih lanjut lagi dibagi lagi
menjadi avadhi, manahparyaya dan kepala; dan pengetahuan antara menjadi mati
dan sruta. Mati mencakup
pengetahuan perseptual dan inferensial.Sruta berarti pengetahuan yang diambil
dari otoritas. Avadhi-jnana, manahparyaya-jnana, dan kevala-jnana merupakan
tiga jenis pengetahuan langsung yang bisa dikatakan sebagai persepsi ekstra
biasa dan ekstra sensori avadhi adalah kemampuan melihat hal-hal yang tidak
Nampak oleh indra; manahparyaya adalah telepathi; dan kevala adalah
kemahatahuan. Disamping kelima pengetahuan benar tersebut diatas, ada juga tiga
pengetahuan salah, yaitu samshaya atau keragu-raguan, viparyaya atau kesalahan
dan anandhyavasaya atau pengetahuan salah melalui kesamaan.[26]
E.
RITUAL & PRAKTEK KEAGAMAAN DALAM JAINISME
1. Asketisme
Menurut
jain ada
dua motif melakukan kehidupan asketik, pertama bahwa kehidupan asketik dianggap
sebagai salah satu macam atletikisme spiritual yaitu latihan spiritual para
atlit menjelang pertandingan.Kedua, bahwa kehidupan asketik itu menempatkan
prinsip serba dua antara materi dan spirit (jiwa). Alu mencari cara untuk
membebaskan jiwa yang terkurung dalam daging.
Jainisme
sangantmementingkan asketisme.Hal ini diandaikan sebagai perjuangan mahavira
untu memperoleh pengetahuan agungng.Karena itu sifat asketik jainisme menjadi
bgitu kstrim dan ketat.
2. Etika
penganut agama Jain
Masyarakat jainisme terdiri atas
pendeta, biara dan orang kebanyakan. Hanya ada lima disiplin spiritual didalam
jainisme. Di dalam kasus kependetaan disiplin ini benar-baner ketat, kaku dan
sangat fanatik.Sementara dalam kasus orang umum hal itu bisa di
modifikasi.Kelima sumpah disebut “sumpah besar” (maha-vrta), sementara bagi
orang umum disebut ‘sumpah kecil’ (anu-vrta).Kelima sumpah tersebut adalah (1)
ahimsa (non kekerasan), (2) satya (kebenaran di dalam pikiran), (3) asteya
(tidak mencuri), (4) brahmacharya (berpantang dari pemenuhan nafsu baik
pikiran, perkataan maupun perbuatan), dan (5) aparigraha (ketakmelekatan dengan
pikiran, perkataan dan prbuatan). Dalam halo rang umum, aturan ini bisa di
modifikasi dan disederhanakan.[27]
Untuk orang awam ada 12 atauran yang
semula berasal dari aturan pendeta. Keduabelas aturan tersebut adalah:
1. Tidak pernah menyengaja melenyapkan
kehidupan dari makhluk ang berorgan indra
2. Tidak pernah berbohong
3. Tidak mencuri
4. Tidak berzina
5. Tidak tamak
6. Menghindari godaan-godaan
7. Membatasi jumlah barang yang dipakai
sehari-hari
8. Menjaga hal yang berlawanan dengan
usaha untuk menghindari dari kesalahan-kesalahan
9. Menjaga periode-periode meditasi
yang telah dicapai
10. Mengamati periode-periode penolakan
diri
11. Memanfaatkan periode-periode kesempatan
menjadi pendeta
12. Memberi sedekah
3. Puasa
Atau yang biasa
disebut puasa Sallekhana atau Santhara. Ritual ini bisa dibilang sangat ekstrim
dimana seseorang penganut ajaran ini melakukan puasa hingga ia meninggal.
Sallekhana adalah ritual agama Jain untuk bunuh diri dengan berpuasa. Karena
sifat berkepanjangan, seseorang diberikan waktu yang cukup untuk merenungkan
hidupnya. Sumpah Sallekhana diambil ketika seseorang merasa bahwa kehidupannya
telah mencapai puncaknya. Tujuan dari sumpah ini adalah untuk membersihkan
karma lama dan mencegah terciptanya karma yang baru. [28]
Puasa merupakan cara
terbaik untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup, dan beberapa di antara
biarawan Jain meneruskan puasa terakhir: mereka duduk selama berhari-hari dan
kelaparan sampai mati. Hal ini dianggap merupakan jalan untuk mencapai
pembebasan.[29]
Selain puasa Sallekhana, ada
puasa-puasa lain dalam agama Jain, yaitu puasa Chauvihar Upwas yaitu puasa
malam hari dan puasa Tivihar
Upwas yakni puasa tanpa makan, akan tetapi boleh minum air (yang telah dimasak).
Kedua puasa ini biasa dilakukan dalam perayaan keagamaan di musim hujan. Puasa
ini bila dilaksanakan selama 8 hari disebut dengan ‘Atthai’dan apabila dilaksanakan selama sebulan, maka disebut ‘Maskhamana’.[30]
4.
Samayik[31]
adalah salah satu praktek
ritual yang paling penting dari Jainisme di mana kami mencoba untuk mendekati
jiwa kita. Selama samayik, kita duduk di satu tempat selama empat puluh delapan
menit mengisolasi diri dari rumah tangga sehari-hari, sosial, bisnis, atau
kegiatan sekolah.
· Chaturvimsati (menyembah 24 tirthankara) :merupakan ritual keagamaan penting Jainisme. Ketika seseorang mencapai
Sambhav di Samayik, orang berpikir tentang mereka kepribadian yang besar yang
menunjukkan jalan `samta`. Yang berikutnya juga berpikir tentang Gunas mereka
(karakteristik). Ini adalah konsep di balik chaturvimsati. Vandan (menawarkan salam ke saddhus (bikhu) atau sadvhis (bikhuni)
· Selama vandana, kita tunduk kepada para biarawan dan biarawati dan
mengungkapkan rasa hormat kita kepada mereka. Mereka adalah pemandu agama kita
saat ini, dan preceptors. Sementara membungkuk, kita menjadi rendah hati, dan
dengan demikian, ini membantu kita untuk mengatasi ego dan amarah.
· Pratyakhyan (penolakan) :Ini adalah penolakan formal kegiatan tertentu, yang mengurangi atau
menghentikan aliran dari karma. Pratyakhyan membantu kita untuk belajar
mengendalikan keinginan kita dan mempersiapkan kita untuk penolakan yang lebih
besar. Selain enam ritual penting diatas umat jain juga taat melaksanakan
ibadah harian atau pemujaan harian yakni penyembahan terhadap berhala. dalam
penyembahan berhala ada tiga tingkatan atau tiga taha yakni puja, vandan kirtan dan aarati.
Puja dalam penyembahan
ini ada 8 macam yakni:
1. Jala (Air) Puja: Air melambangkan laut.
2. Chandan (Sandal kayu) Puja: Chandan melambangkan Pengetahuan (Jnan).
3. Pushpa (Bunga) Puja: Bunga melambangkan perilaku. cinta dan kasih sayang
terhadap semua makhluk hidup.
4. Dhup (Dupa) Puja: Dhup melambangkan kehidupan pertapa
5.
Deepak (Candle) Puja: Nyala Deepak merupakan
Kesadaran Murni atau Jiwa tanpa perbudakan atau Jiwa Dibebaskan
6.
Akshat (Beras) Puja: Beras rumah tangga adalah
jenis biji gandum, yang non-subur
7.
Naivedya (Manis) Puja: Naivedya melambangkan
makanan lezat
8. Fal (Buah) Puja: Buah melambangkan Moksha atau
Liberation
· Puja khusus (poojan)
Ada beberapa macam puja
khusus ini diantaranya yakni:
1. Snatra puja : Ini melambangkan tirthankara yang
mandi digunung meru bersama dewa dewi, poojan selalu dilakukan sebelum setiap
puja, pujan, pada perayaan ulang tahun, selama pembukaan usaha baru, dan pindah
rumah dll.
2. Panch Kalyanak puja : Puja ini memperingati lima peristiwa besar
kehidupan theTtirthankar itu. Puja ini dilakukan dalam setiap acara yang baik.
Lima kalyanks adalah konsepsi, kelahiran, penolakan, kemahatahuan,
dan Moksha.
3. Antaray Karma puja : Ada delapan poojas, sangat mirip dengan Ashta Prakari Pooja.
Dalam poojas, menyebutkan tentang, bagaimana orang yang berbeda menciptakan
antraykarmas dan mereka mampu menghapus hambatan tersebut setelah melakukan
poojas ini.
· Pujan yakni Sebuah ritual panjang yang hampir berlangsung sepanjang hari
dan dilakukan oleh orang-orang yang sangat terpelajar dan melibatkan banyak
orang dalam upacara. Mereka dilakukan sesekali seperti saat baru upacara
pembukaan candi, setelah penebusan dosa khusus seseorang seperti varshitap dll.
5.
Hari-hari Perayaan Dalam Agama
Jain
Festival keagamaan atau
parvas biasanya menurut tanggal pada kalender lunar. Ini bervariasi dari dua
belas hari dalam satu bulan untuk satu atau dua hari dalam setahun. Jain
mengamati penebusan dosa dan melakukan praktik keagamaan dengan tingkat
intensitas yang berbeda. Mereka penting dan hari-hari yang biasa terlihat
adalah sebagai berikut.
· Dua Belas Tithies: Dua Belas Tithis di setiap
bulan 2, 5, 8, 11, 14 dan 15 hari masing-masing setengah
siklus bulan. Kebanyakan Jain mengamati lima hari, Shukla 5th, dua 8th dua hari
ke 14. Jain Shastra menunjukkan Aaushyaabandh untuk kehidupan selanjutnya
terjadi pada salah satu dari hari-hari ini.
· Hari Tahun
Baru: Kartak Shukla Akam Gautam berenang yang Keval ghyan hari.
· Ghyan Panchmi: Ghyan Panchmi - 5 hari Tahun Baru.
Upaya terkonsentrasi terhadap menghapus Ghyanavarniya Karma. Kitab Suci
disembah dengan besar pengabdian. Buku dibersihkan dan diperbaiki jika
diperlukan.
· Chaumasi Chaudas: Tiga Shukla Chaudas di bulan
Kartak, Falgun dan Ashadh.
· Dev Diwali atau Kartak Poonam: Akhir Chaturmas
atau musim hujan-Sadhus Restart Vihar dan pegunungan Shatrunjay membuka kembali
bagi para peziarah.
· Mauna Agiyaras: Ini adalah hari yang sangat
menguntungkan sebagai benar-benar 150 Kalyanaks (dalam 10 Bhumies Karma) telah
terjadi. Dalam Bharat itu adalah hari ulang tahun Diksha Kalyanak dari 18th
Tirthankar Aarnathj, Kevalghyan Kalyanak, untuk ke-21 Tirthankar Neminathji dan
Kelahiran, Diksha dan Keval Ghyan Kalyanak untuk ke-19 Tirthankar Mallinathji.
Setiap kegiatan relegius dilakukan pada hari ini lebih bermanfaat daripada hari
lain. Terutama kita mengamati diam, tetap dalam meditasi sepanjang hari. Cepat
dilakukan pada hari ini memberikan buah dari 150 puasa.
· Poh Dasmi: Tiga hari puasa (sebagian atau
lengkap) jatuh pada VAD 9, 10 hari-11 Margshirsh.Tiga Kalyanaks dari 23
Tirthankar Parshvanathji di Magshirsh.
· Navpad:Oli Parva - puasa parsial, satu kali makan
sehari tanpa vigai, sembilan hari
berurutan dan meditasi diarahkan ke Navpad atau Siddhachakra Aradhna, biasanya jatuh
pada (April dan Oktober) Lunar bulan Chaitra & Aso dari 7 hingga hari
ke-15.
· Mahavira Janma: Chaiitra Shukla Teras Anda
Simbolik Snatra Pooja dilakukan. Jain berkumpul untuk mendengarkan Pesan
Mahavira, presentasi dramatis Trishlas mimpi dan kelahiran Bhagwans.
· Akshay Trutiya: Vaishak Shukla Trija-Bhagwan
Rishabhdev bisa mendapatkan yang tepat alm (dengan air tebu) setelah 400 hari
puasa. Jain memberi penghormatan kepada Palitana atau Hastinapura Tirth hari
ini.
· Paryushan Parva: Parva ini dikenal sebagai raja
semua parvas Kehidupan Mahavira. Digmbara merayakan selama sepuluh hari -
setiap hari selama 10 atribut nyata jiwa juga disebut Das-Lakshna Parva.
· Perayaan Diwali:
Perayaan Diwali menandai peringatan Mahavira. Ketika Mahavira meninggalkan tubuh-Nya di bumi
selamanya, itu adalah malam gelap Aso Amas. 18 Kings di jemaat memutuskan untuk
menerangi lampu-Divas. Ini menciptakan cahaya yang luar biasa. menandakan bahwa pengetahuan
Mahavira masih hidup.[32]
PENUTUP
KESIMPULAN
Agama
Jain adalah agama yang termasuk tidak mengakui adanya system kasta.Sebab sistem
kasta telah menciptakan benih permusuhan dan kebencian antar golongan.
Dan
orang Jain mempercayai ajaran itu Tiga Ratna Jiwa (The Three Jewels of Soul),
yaitu :Pengetahuan yang benar, Kepercayaan yang benar, Tindakan yang benar.
Sehingga mereka akan mendapatkan suatu kesempurnaan dalam hidup serta dapat
melawan kebebasan itu yang terpendam di dalam diri
manusia sendiri.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1.
Prof.
Dr. Shalaby Ahmad, , Agama-Agama Besar di
India. PT Bumi Aksara Jakarta,
1998.
2.
Sou’yb,
Joesoep, Agama-Agama Besar Di Dunia. PT
Al- Husna Zikra, Jakarta, 1996.
4.
Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI).
5.
Abdullah
al-Maghlaut, bin Sam. Atlas
Agama-Agama.
6. Ali, Mukti, Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan
Kali Jaga Press, 1988).
7. I.B.
Putu Suamba, Dasar-Dasar Filsafat India,
(Denpasar: Mabhakti, 2003).
8. J, O’Neil Michael & J Sydney Jones. World Religions Biography 2.
9. Ahmed, Moinuddin. Religious
Of All Mankind. (Kalan Mahal, New Delhi).
[1] Joesoep sou’yb, agama-agama besar di dunia, penerbit pt. Al Husna
Zikra, h. 128
[2] Sami bin Abdullah
al-Maghlaut, Atlas Agama-agama, h. 563
[3] Ibid
[4] Sami bin Abdullah al-Maghlaut, Atlas Agama-agama, h. 564
[5] Prof. Dr. Ahmad Shalaby, Agama-Agama besar di India, Bumi Aksara.
h. 96
[6] Ibid
[8]http://en.wikipedia.org/wiki/Jainism
[9] Joesoep sou’yb, agama-agama besar di dunia, penerbit pt. Al Husna
Zikra, h. 133-134
[10]http://anharululum.blogspot.com/2011/04/mengetahui-sekilas-tentang-agama.htm
[11] Joesoep sou’yb, agama-agama besar di dunia, penerbit pt. Al Husna
Zikra, h.136
[16]Ibid
[17]Ibid
[19] Joesoep sou’yb, agama-agama besar di dunia, penerbit pt. Al Husna
Zikra, h. 140-141
[21]Ibid. Hal.243
[22] Joesoep sou’yb, agama-agama besar di dunia, penerbit pt. Al Husna
Zikra, h. 140-141
[23] Ibid
[24] Prof. Dr. Ahmad Shalaby, Agama-Agama besar di India, Bumi Aksara.
h. 107
[25] I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, (Denpasar: Mabhakti,
2003), h 315-16
[26] Ibid, h. 316
[27] I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, h. 319.
[30]http//
[31]http//blognovihandayani
[32]ibid
1 komentar:
informasi menarik tentang agama Jain
Posting Komentar