Senin, 03 Juni 2013

AGAMA JAIN

A.    Sejarah dan Perkembangan Agama Jain
Jain bermakna penaklukan.Dimaksud penaklukan kodrat-kodrat syahwati di dalam tata hidup manusiawi.[1] Salah satu filsuf berkata “ Jain adalah gerakan rasionalisme yang bebas dari kekuasaan Weda kitab suci umat Hindu dan terbentuk dari karakter umum masyarakat Hindu. Paham ini terbentuk karena rasa takut terhadap reinkarnasi dan pelarian dari kesialan hidup. Berawal dari asketisisme dalam hidup karena khawatir bahaya mengancam.Jainisme berpegang pada latihan rohani yang melelahkan dan kontrol yang sulit.Poinnya adalah tidak peduli pada kenikmatan dan penderitaan. Caranya dengan menjalani hidup dalam kesengsaraan dan kekerasan. Selain itu, dengan menjadi seorang rahib (pendeta) tetapi bukan Brahma.[2]

Jain muncul sebagai reaksi atas sikap eksrem Hindu dalam hal diskriminasi lapisan sosial (kasta). Akibat sebagian ajaran Hindu, masyarakat digeser kedalam medan konflik antar-lapisan sosial. Mereka terjebak diantara api kedengkian dan kebencian. Jainisme menyangkal sebagian ajaran Hindu, terutama dalam hal kasta yang dinilai berbahaya bagi masyarakat. Seruan baru ini mendapat dukungan penuh dari banyak pihak.Namun, meski sikap Jainisme tanpa seperti gerakan reformasi, pengaruhnya tidak banyak menyentu masyarakat. Mayoritas penduduk India masih berpegang pada doktrin Hindu. Jumlah pengikut Jainisme pun terbilang sedikit yang menurut perkiraan hanya berjumlah sejuta orang.[3]
Dialah Vadharmana, orang pertama yang mendirikan Jainisme. Umat Jain biasa memanggilnya Mahavira (599-527 SM). Mahavira lahir dari keturunan golongan Ksatria yang memegang kendali politik dan ketentaraan. Mahavira dibesarkan dirumahnya yang penuh dengan kebesaran, di tengah-tengah kemewahan dan kesenangan.Keluarganya tinggal di Pisarah berdekatan dengan sebuah Bandar yang sekarang dinamakan Patna di wilayah Bihar. Bapaknya, Sidartha adalah seorang anggota ketentaraan. Sidartha telah menikahi dengan anak perempuan ketua mejelis Tris Sala.
Kedudukan Sidartha menjadi semakin tinggi hingga sebagian riwayat menyifatkannya sebagai Amir Bandar atau Rajanya. Mahavira adalah anak laki-laki yang kedua. Rumah ayahnya dijadikan tempat tujuan para pemuka agama dan para ahli ibadah. Sebab, di tempat itu mereka menemukan jamuan paling enak dan penyambutan yang hangat.
Mahavira mulai senang mendengarkan cerita dan perbincangan mereka. Dia berharap bisa bergabung dengan mereka, tetapi kedua orang tuanya melarang. Mahavira pun mengubur harapannya itu karena mengetahui orang tuanya sangat menentag kerahiban. Setelah sang ayah meninggal dan kekuasaan kota diserahkan kepada kakaknya, mahavira meminta izin sang kakak agar merestui dirinya menapaki jalan kerahiban. Sang kakak pun mengizinkan.Setelah itu, Mahavira mulai melepas pakaian mewahnya dan menggantinya dengan pakaian orang-orang ahli badah dan pakaian pendeta.
Keesokan harinya, mahavira melintasi semua bagian kota sambil merenung dan berfikir. Dia mulai mengurangi makanan dan minuman serta hidup dari pemberian orang. Setelah menjalani masa kerahiban selama 13 bulan, dia melepas seluruh pakaiannya dan berjalan telanjang tanpa sehelai kain pun. Hal tersebut dilakukannya karena telah mencapai tahap kecerahan spiritual. Dia tak lagi memiliki rasa malu, sakit, senang, ataupun gembira.
Mahavira terus menjalani pelatihan nafsu dan rohani selama 12 tahun hingga menjadi sebagaimana yang diucapkan para pengikutnya—seseorang yang tidak lagi peduli akan rintangan seberat apapun. Setelah sampai pada tingkat tersebut, mahavira lantas beranjak ke tingkat selanjutnya: mengajak manusia untuk mengikuti ajaran dan madzhabnya. Beruntung, masyarakat menyambut seruannya karena waktu itu mereka resah dengan paham Hindu yang berlebihan.
Kemudian, Mahavira mengajak keluarga, kerabatnya, serta penduduk kota. Mereka pun memenuhi seruannya tersebut. Dia terus menyeru masyarakat hingga umurnya genap 72 tahun. Selepas itu, dia singgah di kota Penaporedi wilayah Patna. Mahavira memberikan 55 khotbah kepada masyarakat dan menjawab 36 pertanyaan yang tidak ditanya. Setelah itu, mahavira menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 527 SM.[4]
B.     Ajaran dan Praktek Kegamaannya
Jainisme tidak lain adalah gerakan revolusioner terhadap sebagian ajaran Hindu yang pengaruhnya meresahkan masyarakat. Sistem kasta telah menciptakan benih permusuhan dan kebencian antar-golongan. Jiwa masyarakat yang tadinya bersatu, diguncang dengan kedenkian satu sama lain karena system pelapisan social yang ekstrem tersebut.
Ketika system kasta tersebut, menurut keyakinan Hindu dianggap sebagai kehendak dewa, mahavira menentangnya.Akibat penentangannya itu, Jainisme dianggap sebagai aliran atheis. Dari sini terjadilah kekosongan besar pada agama Jain karena sikap mahavira tidak mengakui dewa, padahal pengakuannya tersebut bisa menyempurnakan aliran baru yang diserukan itu. Hal inilah yang pada dewa sebagai tuhan mereka.
Para pengikut Jain berpendapat bahwa Agama Jain adalah suatu mazhab yang amat lama dan telah cukup sempurna tatkala berada pada tangan Jain yang ke 24. Jain yang pertama namanya Rasabha, lahir sejak zaman purbakala dan sejarah tidak menyebutkan sesuatu tentangnya, hanya sebagian kisah dongen saja yang menghubungkannya. Setelah itu timbullah Jain-Jain yang lain, seorang demi seorang, hingga lahir dua orang Jain terakhir dalam tingkat zaman sejarah. Yang pertama adalah Jain yang ke 23 namanya Parsuanath yang dilahirkan pada abad ke 9 SM dan mati pada abad ke 8 SM.[5] Dia telah mendirikan suatu lembaga ketuhanan yang dikaitkan dengan keperluan latihan-latihan yang berat. Dia membagi pengikutnya menjadi dua bagian, yaitu golongan khusus dan golongan umum.
Lahirlah Mahavira dan dia-lah Jain yang ke 24. Dia menganut prinsip-prinsip Parsunath dan menambahkan lagi dengan pikiran-pikiran, pengalaman, dan ilhamnya. Kedudukan Mahavira menjadi tinggi dan aliran ini terkenal dengan namanya serta lembaga tersebut dikenal dengan gelarnya. Agama Jain dikenal kecuali berpadu dengan namanya.     
Diantara kepercayaan Jainisme adalah tidak mengakui system kasta. Kala itu, setiap orang berusaha untuk terbebas dari kasta yang kemungkinan kecil hanya didapat dengan bekerja. Pada sisi lain, Jainisme melihat bahwa kemampuan manusia tentu berbeda dalam menanggung dan menjalankan ajarannya. Karena itu, mereka membagi manusia menjadi dua golongan sesuai kemampuan: golongan khusus dan golongan umum (awam).
Golongan khusus adalah pendeta-pendeta, orang-orang pertapa yang mengamalkan latihan-latihan berat dan pengharaman diri serta meninggalkan keluarga dan rumah karena menjelajahi negara-negara, kota-kota, dan kampung-kampung.Golongan ini adalah tulang punggung lembaga tersebut.Demi mendapatkan keselamatan sejati. Sehingga mereka rela berjalan keliling kota dengan tubuh telanjang, tanpa busana apapun dan alas kaki serta menderita, sakit, lapar, hina dan miskin.
Sementara golongan umum adalah mereka yang mengambil jalan yang dilalui oleh orang-orang khusus tadi.  Mereka tidak melakukan latihan yang berat dan melelahkan, tetapi mereka berkewajiban menyanggupi semua ajaran Jainisme, seperti menjaga para arwah meski itu arwah seekor serangga sekalipun. Mereka beretika dengan akhlak dan perilaku orang-orang Jain dan harus bersedekah kepada para pedeta. Salah satu kepercayaan Jain yang sesuai dan sama dengan Hinduisme adalah pendapat tentang reinkarnasi dan adanya kelahiran berulang pada orang yang sama.[6]
Jainisme didirikan dan dikembangkan oleh 24 orang Tirthankara. Tirthankara adalah seorang yang menyeiaka kapal yang besar untuk menyebrangi luasnya lautan Samsara. Kapal itu adalah Dharma dan Tirthankara itu adalah objek ibadahnya, yang merevitalisasi ajaran Dharma di dunia.[7]
Ajaran agama Tīrthaṅkaras membentuk dasar untuk Jain kanon. Pengetahuan batin Tīrthaṅkara sempurna dan identik dalam segala hal dan ajaran mereka tidak bertentangan satu sama lain. Namun, tingkat elaborasi bervariasi sesuai dengan kemajuan spiritual dan kemurnian masyarakat selama periode kepemimpinan mereka. Semakin tinggi kemajuan spiritual dan kemurnian pikiran masyarakat, semakin rendah elaborasi yang dibutuhkan. Sementara Tirthankaras didokumentasikan dan dihormati oleh orang-orang iman Jain, kasih karunia mereka dikatakan tersedia bagi makhluk hidup, terlepas dari orientasi keagamaan.
Tirthankaras tinggal secara eksklusif dalam bidang Jiwa mereka, dan sama sekali bebas dari kashayas, nafsubatin, dan keinginan pribadi. Sebagai hasil dari ini, terbatas siddhi, kekuatan spiritual, yang tersedia bagi mereka- yang mereka gunakan secara eksklusif untuk peningkatan rohani dari makhluk hidup. Melalui darshan, visi Ilahi, Dandeshna, ucapan Ilahi, mereka memberikan negara mereka sendiri Keval Gnan, dan moksha, pembebasan akhir untuk orang mencari dengan tulus. Pada akhir manusia masa kehidupannya, seorang Tīrthaṅkara mencapai Statussiddha, mengakhiri siklus kelahiran dan kematian yang tak terbatas.

Jainisme mendalilkan waktu yang tidak memiliki awal atau akhir. Ini bergerak seperti roda gerobak. Jain percaya bahwa tepat dua puluh empat Tīrthaṅkaras dilahirkan pada tiap babak-siklus waktu di bagian alam semesta. Yang pertama adalah Tīrthaṅkara Rishabha, yang dikreditkan untuk merumuskan dan mengatur manusia untuk hidup dalam masyarakat harmonis. Tanggal 24 dan terakhir Tīrthaṅkara adalah Mahavira (599-527 SM). Digambara Jain percaya bahwa Tīrthaṅkara adalah laki-laki, tapi Svetambara Jain percaya bahwa ke-19 Tīrthaṅkara, Mallinath, adalah seorang wanita. Gambar Tīrthaṅkara biasanya duduk dengan kaki disilangkan di depan, jari-jari kaki dari satu kaki beristirahat dekat pada lutut yang lain, dan tangan kanan berbaring di atas kiri dipangkuan. Dalam tradisi Jain Tīrthaṅkaras yang royal dalam kehidupan terakhir mereka, dan Jain tradisi rincian catatan kehidupan mereka sebelumnya, biasanya sebagai royalti. Klandan keluarga mereka jugadi antara mereka tercatat dalam sangat awal, atau legenda, sejarah Hindu. Semua kecuali dua dari Jain dianggap berasal dari dinasti Ikshvaku. Munisuvrata, kedua puluh, dan Neminatha, dua puluh dua, yang dari Harivamsa tersebut. Jain kanon menyatakan bahwa Rishabha, yang Tīrthaṅkara pertama, didirikan Ikshvaku tersebut.

Dua puluh Tīrthaṅkaras mencapai status siddha di Shikharji. Vasupujya mencapai nirwana Champapuri di Bengal Utara, Neminatha pada Girnardi Gujarat, dan Mahavira, yang terakhir di Pawapuri, dekat ibukota Biharmodern, Patna.
Dua puluh satu dari Tīrthaṅkaras dikatakan telah mencapai moksha di kayotsarga (meditasi berdiri) postur, sedangkan Rishabha, Nemi dan Mahavira dikatakan telah mencapai moksha dalam posisi lotus.[8]

Nama – Nama Dewa Dalam Agama Jain




Pokok Ajaran Agama Jainisme
Mahavira mengajarkan bahwa kebebasan itu terpendam di dalam diri manusia sendiri.Yaitu :
1.      Kebebasan dari Karma maksudnya adalah  yakni sebab-akibat dari tindak laku manusiawi. Dan kaum Jain menganggap bahwa setiap orang terikat dengan karma, atas perbuatan jahat yang dilakukan setiap manusia, berbeda dengan agama Hindu dan Buddha yang menganggap bahwa karma itu ada karma baik dan karma buruk, yaitu apabila seseorang meloki perbuatan baik maka ia akan mendapatkan karma yang baik dan sebaliknya. Sedangkan kaum Jain, kaum Jain hanya memiliki satu karma saja yaitu hanya karma buruk saja.
2.      Kebebasan dari samsara maksudnya adalah hidup berulang kali kedunia yang semua itu merupakan denta. Kebebasan itu bukan dengan mempersembahkan korban sesewaktu, dan bukan pula dengan mempersembahkan sesajen didepan berhala.[9]

v  Kaum Jain juga memiliki prinsip- prinsip, yaitu diantaranya :
a. Ahimsa yaitu tidak melakukan tindakan yang merugikan mahluk hidup lainnya, seperti membunuh binatang, tumbuhan dll. Memang kalau dipikir  dengan logika, kita tidak akan pernah bisa untuk tidak melakukan yang seperti itu, karena apabila kita tidak memanfaatkan seperti tumbuhan dan binatang sebagai kebutuhan menusia seperti untuk makan misalnya, apa kita bisa makan dengan tidak menggunakan pokok makan dari tumbuhan dan hewan, Lalu bagaimana orang Jain menanggapi tentang konsep ini?  Lalu muncul jawaban memang tidak bisa dan, tapi semua itu dapat diminimalisirkan seperti dengan berpuasa, ada satu prinsip bahwa seseorang  berpuasa sampai dia meninggal, dan orang seperti ini dianggap telah mencapai kebebasan dimana dia telah berengkarnasi.
b. Satia yaitu kebenaran berbicara yang bermaksud tidak berbohong kapada sesama mahluk, karena juga kita ketahui bahwa berbohong adalah merugikan orang lain.
c. Asetya yaitu mencuri, dengan sesama manusia dalam faham kaum Jain dilarang untuk mencuri, sama seperti pada hukum hukum yang ada bahwa muncuri merugikan orang lain.[10]


Mahavira menyimpulkan seluruh pokok ajarannya pada Tiga Ratna Jiwa (The Three Jewels of Soul), yaitu :
1.      Pengetahuan yang benar
2.      Kepercayaan yang benar
3.      Tindakan yang benar
Tindakan yang benar itu mestilah berazaskan Lima Sumpah Terbesar (Five Great Vows),[11]yaitu :
1.      Jangan membunuh sesuatu yang hidup
2.      Jangan mencuri
3.      Jangan berdusta
4.      Jangan hidup bejat
5.      Jangan menghasratkan apapun

1.      Konsepsi tentang tuhan
Agama jain atau jainisme menolak adanya tuhan yang dianggap sebagai pencipta atau penguasa dunia ini. Walaupun demikian menurut hut chison, paham jainisme tidak termasuk atheis, melainkan disebut non-teisme. Penyebutan ini didasarkan pada corak pada agama tersebut tentang apa yang disebut tuhan. Agama Jain mengakui keberadaan apa yang disebut sang “Maha Kuat”, namun mengatakan bahwa sang maha kuat tersebut termasuk pula manusia, semuanya terbelenggu dalam alam dosa dengan sedikit atau tanpa ada kesempatan untuk melarikan diri darinya.[12]
Para pakar telah mencoba meneliti mengapa jainisme menolak tuhan, namun mereka baru memperkirakan saja mengenai sebab tersebut.Yakni yang pertama. Jainisme merasa tuhan-tuhan itu tidak ada perlunya karena manusia sendiri mampu mencapai kelepasan melalui kekuatannya sendiri tanpa harus bergantung secara neurotic terhadap kekuatan-kekuatan lain diluar dirinya. Kedua, karena tuhan-tuhan itu malah seolah-olah dianggap sebagai hal yang dijelaskan berdasarkan prinsip-prinsip irasional.[13]
Sebab lainnya yang perlu dopertimbangkan adalah latar belakang krisis politik dan kemerosotan kemasyarakatan pada saat itu. Kemudian Pentingnya upacara korban dan pentingnya kedudukan para Brahmana sebagai tulang punggung sistem kasta.[14]
2.      Konsepsi tentang alam
Jainisme menganut filsafat dualisme, yaitu membagi alam semesta ini menjadi dua kategori: zat yang hidup (jiva) dan zat yang tidak hidup (ajiva). Ajiva memiliki lima substansi yaitu benda (pudgala), dharma, adharma, ruang (akasa) dan waktu (kala). Unsure jiva dan keenam unsure ajiva tersebut disebut denga enam dravya.
Menurut agama ajarang agama jain substansi jiva dan ajiva adalah kekal, tidak diciptakan, tidak ada permulaan dan tidak berakhir. Atau dengan kata lain tidak ada sebab pertama yang menyebabkan terjadinya substansi-substansi tersebut.
Kemudian selain pembagian menurut kedua kategori tersebut, maka dari sudut pandang lain berbeda, substansi-substansi tersebut lebih lanjut diklasifikasikan menjadi dua yakni astikaya dan nastikaya.[15]
Menurut kosmologi Jainisme alam semesta ini adalah abadi, alam semesta ini bergerak melalui satu lingkaran terus-menerus dari stau tempat yang ideal menuju kearah titik bawah lalu dilanjutkan menaik lagi melalui titik atas dan begitu seterusnya. Menurut agama Jain alam semesta ini bergerak bukan karena adanya tuhan melainkan bergerak secara mekanistis belaka.[16]
3.      Konsepsi tentang karma
Jainisme tetap menerima ajaran tentang karma-samsara dalam pemikiran tradisional India, dan mengajarkan bahwa karma terjadi karena tercampurnya jiva dan ajiva. Konsep karma dalam Jainisme  berpangkal pada prinsip dualism antara jiwa dan benda, atas dasra prinsip tersebut, menurut Jainisme tubuh manusia itu memenjarakan jiwanya.
Menurut Jainisme karma adalah energy jiwa yang dengan energy itu menyebabkan penggabungan jiwa dan benda dan kekotoran berikutnya dari jiwa itu. Menurut Jain karma bisa dibersihkan, prose pembersihan karma disebut dengan nirjana, jika proses nirjana ini berjalan terus tanpa rintagan maka pada akhirnya semua karma akan tercabut dari jiwa dan akan mencapai tujuan utama hidup.[17]

C.    Sekte di dalam Agama Jain
Sekitar tahun 310 SM. Terjadilah perpecahan paham dan pendirian dalam kalangan agama Jain itu, yakni lebih kurang 3 abad sepeninggalan Mahavira (599-527 SM).Perpecahan itu disebabkan musim paceklik di India utara. Sejumlah 12.000 orang dari jemaat Jain itu, di bawah pimpinan Bhadrabahu, melakukan perpindahan menuju belahan selatan India, berdiam dan menetap dalam wilayah Mysore. Dengan begitu jemaat Jain itu telah terpecah dua, yaitu belahan utara dan belahan selatan. Belahan utara itu beriklim dingin dan belahan selatan beriklim panas. Didalam wilayah yang beriklim panas itu pakaian tidaklah diperlukan. Sedangkan jemaat Jain bagian belahan utara lebih mengutamakan bertarak dan bertapa, yakni hidup secara asketik.
Sekitar tahun 82 M baharulah perpecahan itu menjadi resmi disebabkan masalah pakaian. Jemaat Jain yang mendiami wilayah pada belahan Utara pegunungan Vindaya, yang bersuhu sejuk itu, selalu mengenakan pakain putih. Jemaat Jain itulah yang dipanggilkan dengan sekte Svetambara, yakni jemaat yang berpakaian putih.
Tetapi jemaat Jain yang mendiami wilayah pada belahan Selatan pegunungan Vindhya itu, yang sepanjang tahun beriklim panas, tidak mengenakan pakaian sehelai benang pun. Jemaat Jain itulah yang dipanggilkan dengan sekte Digambara, yakni jemaat yag bertelanjang bugil bagaikan langit.
Masalah pakain itu lantas menjadi masalah keagamaan yang meruncing sangat tajam antara kedua sekte. Sekta Digambara itu beralaskan sikap hidup Mahavira di dalam pengembaraannya, yang tidak ambil pusing dan tidak perduli terhadap kebutuhan duniawi.
Sekte Digambara memiliki tatanan moral yang lebih keras dibanding Svetambara. Tidak seperti Svetambara, Digambara tidak mempercayai jika wanita dapat mencapai kelepasan/kebebasan jiwa sampai mereka terlahir/dilahirkan kembali sebagai seorang laki-laki. Menurutnya, hanya kaum laki-laki saja yang daat mencapai kelepasan jiwa.[18]
Tetapi semenjak abad ke 7 M, yakni semenjak anak Benua India itu berada di bawah kekuasaan Islam, demikian Robert E. Hume, Ph.D. di dalam bukunya Wordl’s Living Religions edisi 1930 halaman 52,  maka anggota jemaat Digambara itu mulai dipaksakan mengenakan pakaian, setidak-tidaknya mengenakan cd.[19]
Kedua sekte ini pun mempunyai perbedaan pandangan tentang sifat Jina, tidak seperti Svetambara, Digambara mempercayai bahwa Jina tidak membutuhkan makanan, tidak mempunyai fungsi tubuh maupun membawa beberapa fungsi-fungsi duniawi.[20]
Perbedaan lainnya antara kedua sekte tersebut adalah pandangan mereka tentang kepemilikan duniawi. Digambara mempercayai bahwa seseorang itu dapat mencapai kelepasan spiritual hany dengan meninggalkan/melepaskan kepemilikan terhadap sesuatu yang bersifat keduniawian.[21]
D.    Kitab Suci Agama Jain
Kitab suci di dalam agama Jain (Siddhanta) itu bermakna : pembahasan. Dan  kitab suci Jain bisa disebut dengan nama Agamas yang bermakna : perintah, ajaran, dan bimbingan.[22]
 Kitab suci Jain  hanyalah sekumpulan 55 khotbah mahavira, beberapa pidato dan wasiat yang berhubungan dengan para murid, pendeta, dan ahli ibadah aliran tersebut. Warisan ini turun-temurun berpindah secara lisan yang baru terkumpul pada abad ke-4. Pada waktu itu, para pemuka agama Jain berkumpul di kota Paleopatra. Mereka berdiskusi perihal kodifikasi warisan mahavira tersebut karena khawatir hilang dan tercampur dengan sesuatu yang lain. Mereka mengumpulkan sebagian isi kitab dalam beberapa buku dan berselisih tentang sebagian sumbernya.Namun, mereka belum berhasil menyatukan suara masyarakat guna menyepakati rencana kodifikasi tersebut.
Oleh karena itu, penulisan undang-undang Jainisme ditunda sampai tahun 57 M. akhirnya, mereka membukukan sebagian naskah yang didapatkan setelah cukup banyak kehilangan warisan tersebut. Pada abad ke-5 M, mereka menyelenggarakan pertemuan lain di kota Welapehi yang menyepakati pendapat terakhir tentang warisan Jainisme yang mereka anggap suci. Kali pertama, buku tersebut ditulis dalam bahasa Ardaha Majdi, (bahasa kepustakaan sebelum masehi)  kemudian ditulis dengan bahasa Sanskerta pada abad-abad Masehi. Selain itu orang Jain juga percaya dengan permata yakut yang tiga atau bisa disebut Tiga Ratna Jiwa diantaranya yaitu,
1.      Permata atau mutiara yang pertama adalah itikad yang sah, dialah puncak penyelamatan. Maksud mereka adalah percaya kepada para pemimpin Jain yang dua puluh empat itu. Itulah aturan yang dipuja dan jalan yang lurus. Itikad yang sah tidak ada kecuali setelah diri terlepas dari kotoran-kotoran dosa yang melekat padanya dan yang menghalangi sampainya ruh kepada itikad ini.
2.      Permata atau mutiara yang ke dua adalah ilmu yang benar, maksudnya adalah pengetahuan mengenai alam dari kedua segi rohaninya dan kebendaan serta membedakan diantara keduanya. Martabat pengetahuan ini berlainan menurut kekuatan penglihatan hati dan kejernihan ruh. Seseorang yang memisahkan pengaruh dari kekuatan rohani serta sinarnya dapat melihat alam dalam bentuk yang sebenarnya, segala hakikat terbentang di depannya, tabir-tabir tebal tersingkap darinya yang menyebabkannya dapat membedakan antara kebenaran dan kesalahan, antara sangkaan dan keyakinan. Dia tidak diraguhkan oleh apapun . Ilmu pengetahuan yang benar ada sesudah itikad yang sah.    
3.      Permata atau mutiara yang ketiga adalah akhlak yang benar, maksudnya adalah bersifat dengan akhlak Jain seperti melakukan kebaikan meninggalkan keburukan, tidak membunuh, tidak berbohong, tidak melakukan pencurian, tidak melakukan kecurangan dan berzuhud dengan barang-barang kepunyaan sendiri. 
Ketiga mutiara ini saling berkaitan.Tatkala seorang manusia itu telah sempurna maka dia mendapati suatu kenikmatan dan kebahagiaan yang tidak dapat ditandingi oleh kenikmatan dan kebahagiaan manapun.[23]
v  Prinsip-prinsip Utama untuk Pembersihan Ruh
Para pengikut Jain meletakan tujuh asas utama untuk membersihkan ruh.Asas-asas ini adalah dianggap puncak atau sumber prinsip-prinsip Agama Jain.Asas-asas ini adalah sebagai berikut.
1.      Membuat pengakuan dan perjanjian kepada para pemimpin dan pendeta-pendeta bahwa hendaklah murid itu berbudi pekerti baik dan membuang segala kelakuan yang buruk.
2.      Bertakwa, yaitu hendaklah senantiasa berhati-hati ketika berbicara dan bekerja, dan pada segala gerak-gerik dan juga waktu berdiam. Tidak menyakiti atau membahayakan makhluk apapun yang hidup walau hina sekalipun.
3.      Mengurangi gerakan badan, bicara, berfikir tentang hal-hal dunia yang jasmani sehingga masa dan napas-napas yang berharga tidak terbuang pada perkara-perkara yang kecil.
4.      Menghiasi diri dengan sepuluh perkara yang menjadi puncak kebaikan dan jalan kesempurnaan, yaitu pemaaf, benar, lurus, merendahkan diri, bersih, menahan nafsu, berhemat lahir dan batin, berzuhud, meninggalkan perempuan, dan tidak mementingkan diri sendiri.
5.      Pemikiran terhadap hakikat utama mengenai alam dan jiwa. Sebagian masalah alam dan masalah jiwa dapat dicapai dengan panca indra yang bersifat kebendaan, dan sebagiannya dapat dicapai dengan kaca mata akal.
6.      Mengatasi kesulitan hidup dan segala kedukaannya yang timbul dari gejala-gejala jasmani atau kebendaan, seperti rasa lapar, dahaga, sejuk, panas, dan segala hawa nafsu yang bersifat kebendaan itu. Haruslah dia menegakkan suatu tembok yang kukuh disekelilingnya agar terlepas dari gejala-gejala dan panca indra dan dari pengaruhnya.
7.      Kepuasan yang sempurna, ketenangan, budi pekerti yang baik, kebersihan lahir dan batin.[24]
Agama Jain beranggapan bahwa prinsip-prinsip ini melepaskan manusia dari ikatan yang mengikatnya dengan kehidupan serta merampas ketegangan pikiran dan hatinya. Seandainya seseorang bersifat dengan sifat-sifat yang tujuh ini maka dia sikeluarkan dari kegelapan yang menyelubunginya disebabkan kedukaan hidup di dunia.
1.      Tentang Epsitemologi

Dalam aspek epistemologi, jaina menolak pandangan carvaka bahwa persepsi hanyalah satu-satunya sumber valid munculnya pengetahuan. Jika kita menolak kemungkinan memperoleh pengetahuan benar melalui inferensi dan testimoni orang lain, kita semestinya meragukan validitas persepsi, karena sekalipun persepsi kadang-kadang bisa bersifat ilusi. Padahal carvaka sendiri memakai inferensi (anumana) ketika mengatakan bahwa semua inferensi adalah invalid, dan juga ketika mereka menolak eksistensi objek-objek karena mereka tidak dilihat. Disamplng persepsi, jaina menerima inferensi dan testimony (sabda) sebagai sumber pengatahuan valid. Inferensi menberikan pengetahuan valid ketika ia mengikuti kaidah-kaidah logis yang tepat. Testimoni valid ketika ia merupakan laporan otoritas terpercaya. Atas otoritas ajaran-ajaran orang-orang suci yang telah terbebaskan (jaina atau tirthankara) orang-orang pengikut ajaran ini mendapatkan pengetahuan yang benar yang tidak dapat diperoleh oleh orang yang masih terbatas. Testimoni Tirthankara ini tidak diragukan lagi ke-validan-nya.[25]

Jaina mengklasifikasikan pengetahuan menjadi, pengetahuan langsung (aparoksa) dan pengetahuan antara (paroksa).Pengetahuan langsung lebih lanjut lagi dibagi lagi menjadi avadhi, manahparyaya dan kepala; dan pengetahuan antara menjadi mati dan sruta. Mati mencakup pengetahuan perseptual dan inferensial.Sruta berarti pengetahuan yang diambil dari otoritas. Avadhi-jnana, manahparyaya-jnana, dan kevala-jnana merupakan tiga jenis pengetahuan langsung yang bisa dikatakan sebagai persepsi ekstra biasa dan ekstra sensori avadhi adalah kemampuan melihat hal-hal yang tidak Nampak oleh indra; manahparyaya adalah telepathi; dan kevala adalah kemahatahuan. Disamping kelima pengetahuan benar tersebut diatas, ada juga tiga pengetahuan salah, yaitu samshaya atau keragu-raguan, viparyaya atau kesalahan dan anandhyavasaya atau pengetahuan salah melalui kesamaan.[26]

E.     RITUAL & PRAKTEK KEAGAMAAN DALAM JAINISME
1.      Asketisme
Menurut jain ada dua motif melakukan kehidupan asketik, pertama bahwa kehidupan asketik dianggap sebagai salah satu macam atletikisme spiritual yaitu latihan spiritual para atlit menjelang pertandingan.Kedua, bahwa kehidupan asketik itu menempatkan prinsip serba dua antara materi dan spirit (jiwa). Alu mencari cara untuk membebaskan jiwa yang terkurung dalam daging.
Jainisme sangantmementingkan asketisme.Hal ini diandaikan sebagai perjuangan mahavira untu memperoleh pengetahuan agungng.Karena itu sifat asketik jainisme menjadi bgitu kstrim dan ketat.
2.      Etika penganut agama Jain
Masyarakat jainisme terdiri atas pendeta, biara dan orang kebanyakan. Hanya ada lima disiplin spiritual didalam jainisme. Di dalam kasus kependetaan disiplin ini benar-baner ketat, kaku dan sangat fanatik.Sementara dalam kasus orang umum hal itu bisa di modifikasi.Kelima sumpah disebut “sumpah besar” (maha-vrta), sementara bagi orang umum disebut ‘sumpah kecil’ (anu-vrta).Kelima sumpah tersebut adalah (1) ahimsa (non kekerasan), (2) satya (kebenaran di dalam pikiran), (3) asteya (tidak mencuri), (4) brahmacharya (berpantang dari pemenuhan nafsu baik pikiran, perkataan maupun perbuatan), dan (5) aparigraha (ketakmelekatan dengan pikiran, perkataan dan prbuatan). Dalam halo rang umum, aturan ini bisa di modifikasi dan disederhanakan.[27]
Untuk orang awam ada 12 atauran yang semula berasal dari aturan pendeta. Keduabelas aturan tersebut adalah:
1.      Tidak pernah menyengaja melenyapkan kehidupan dari makhluk ang berorgan indra
2.      Tidak pernah berbohong
3.      Tidak mencuri
4.      Tidak berzina
5.      Tidak tamak
6.      Menghindari godaan-godaan
7.      Membatasi jumlah barang yang dipakai sehari-hari
8.      Menjaga hal yang berlawanan dengan usaha untuk menghindari dari kesalahan-kesalahan
9.      Menjaga periode-periode meditasi yang telah dicapai
10.  Mengamati periode-periode penolakan diri
11.  Memanfaatkan periode-periode kesempatan menjadi pendeta
12.  Memberi sedekah

3.      Puasa
Atau yang biasa disebut puasa Sallekhana atau Santhara. Ritual ini bisa dibilang sangat ekstrim dimana seseorang penganut ajaran ini melakukan puasa hingga ia meninggal. Sallekhana adalah ritual agama Jain untuk bunuh diri dengan berpuasa. Karena sifat berkepanjangan, seseorang diberikan waktu yang cukup untuk merenungkan hidupnya. Sumpah Sallekhana diambil ketika seseorang merasa bahwa kehidupannya telah mencapai puncaknya. Tujuan dari sumpah ini adalah untuk membersihkan karma lama dan mencegah terciptanya karma yang baru. [28]
Puasa merupakan cara terbaik untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup, dan beberapa di antara biarawan Jain meneruskan puasa terakhir: mereka duduk selama berhari-hari dan kelaparan sampai mati. Hal ini dianggap merupakan jalan untuk mencapai pembebasan.[29]
Selain puasa Sallekhana, ada puasa-puasa lain dalam agama Jain, yaitu puasa Chauvihar Upwas yaitu puasa malam hari dan puasa Tivihar Upwas yakni puasa tanpa makan, akan tetapi boleh minum air (yang telah dimasak). Kedua puasa ini biasa dilakukan dalam perayaan keagamaan di musim hujan. Puasa ini bila dilaksanakan selama 8 hari disebut dengan Atthaidan apabila dilaksanakan selama sebulan, maka disebut Maskhamana.[30]
4.      Samayik[31]
adalah salah satu praktek ritual yang paling penting dari Jainisme di mana kami mencoba untuk mendekati jiwa kita. Selama samayik, kita duduk di satu tempat selama empat puluh delapan menit mengisolasi diri dari rumah tangga sehari-hari, sosial, bisnis, atau kegiatan sekolah.
·         Chaturvimsati (menyembah 24 tirthankara) :merupakan ritual keagamaan penting Jainisme. Ketika seseorang mencapai Sambhav di Samayik, orang berpikir tentang mereka kepribadian yang besar yang menunjukkan jalan `samta`. Yang berikutnya juga berpikir tentang Gunas mereka (karakteristik). Ini adalah konsep di balik chaturvimsati. Vandan (menawarkan salam ke saddhus (bikhu) atau sadvhis (bikhuni)
·         Selama vandana, kita tunduk kepada para biarawan dan biarawati dan mengungkapkan rasa hormat kita kepada mereka. Mereka adalah pemandu agama kita saat ini, dan preceptors. Sementara membungkuk, kita menjadi rendah hati, dan dengan demikian, ini membantu kita untuk mengatasi ego dan amarah.
·         Pratyakhyan (penolakan) :Ini adalah penolakan formal kegiatan tertentu, yang mengurangi atau menghentikan aliran dari karma. Pratyakhyan membantu kita untuk belajar mengendalikan keinginan kita dan mempersiapkan kita untuk penolakan yang lebih besar. Selain enam ritual penting diatas umat jain juga taat melaksanakan ibadah harian atau pemujaan harian yakni penyembahan terhadap berhala. dalam penyembahan berhala ada tiga tingkatan atau tiga taha yakni puja, vandan kirtan dan aarati.
Puja dalam penyembahan ini ada 8 macam yakni:
1.      Jala (Air) Puja: Air melambangkan laut.
2.      Chandan (Sandal kayu) Puja: Chandan melambangkan Pengetahuan (Jnan).
3.      Pushpa (Bunga) Puja: Bunga melambangkan perilaku. cinta dan kasih sayang terhadap semua makhluk hidup.
4.      Dhup (Dupa) Puja: Dhup melambangkan kehidupan pertapa
5.      Deepak (Candle) Puja: Nyala Deepak merupakan Kesadaran Murni atau Jiwa tanpa perbudakan atau Jiwa Dibebaskan
6.      Akshat (Beras) Puja: Beras rumah tangga adalah jenis biji gandum, yang non-subur
7.      Naivedya (Manis) Puja: Naivedya melambangkan makanan lezat
8.       Fal (Buah) Puja: Buah melambangkan Moksha atau Liberation
·         Puja khusus (poojan)
Ada beberapa macam puja khusus ini diantaranya yakni:
1.      Snatra puja : Ini melambangkan tirthankara yang mandi digunung meru bersama dewa dewi, poojan selalu dilakukan sebelum setiap puja, pujan, pada perayaan ulang tahun, selama pembukaan usaha baru, dan pindah rumah dll.
2.      Panch Kalyanak puja : Puja ini memperingati lima peristiwa besar kehidupan theTtirthankar itu. Puja ini dilakukan dalam setiap acara yang baik. Lima kalyanks adalah konsepsi, kelahiran, penolakan, kemahatahuan, dan Moksha.
3.      Antaray Karma puja : Ada delapan poojas, sangat mirip dengan Ashta Prakari Pooja. Dalam poojas, menyebutkan tentang, bagaimana orang yang berbeda menciptakan antraykarmas dan mereka mampu menghapus hambatan tersebut setelah melakukan poojas ini.
·         Pujan yakni Sebuah ritual panjang yang hampir berlangsung sepanjang hari dan dilakukan oleh orang-orang yang sangat terpelajar dan melibatkan banyak orang dalam upacara. Mereka dilakukan sesekali seperti saat baru upacara pembukaan candi, setelah penebusan dosa khusus seseorang seperti varshitap dll.
5.      Hari-hari Perayaan Dalam Agama Jain
Festival keagamaan atau parvas biasanya menurut tanggal pada kalender lunar. Ini bervariasi dari dua belas hari dalam satu bulan untuk satu atau dua hari dalam setahun. Jain mengamati penebusan dosa dan melakukan praktik keagamaan dengan tingkat intensitas yang berbeda. Mereka penting dan hari-hari yang biasa terlihat adalah sebagai berikut.

·         Dua Belas Tithies: Dua Belas Tithis di setiap bulan 2, 5, 8, 11, 14 dan 15 hari masing-masing setengah

siklus bulan. Kebanyakan Jain mengamati lima hari, Shukla 5th, dua 8th dua hari ke 14. Jain Shastra menunjukkan Aaushyaabandh untuk kehidupan selanjutnya terjadi pada salah satu dari hari-hari ini.
·          Hari Tahun Baru: Kartak Shukla Akam Gautam berenang yang Keval ghyan hari.
·         Ghyan Panchmi: Ghyan Panchmi - 5 hari Tahun Baru. Upaya terkonsentrasi terhadap menghapus Ghyanavarniya Karma. Kitab Suci disembah dengan besar pengabdian. Buku dibersihkan dan diperbaiki jika diperlukan.
·         Chaumasi Chaudas: Tiga Shukla Chaudas di bulan Kartak, Falgun dan Ashadh.
·         Dev Diwali atau Kartak Poonam: Akhir Chaturmas atau musim hujan-Sadhus Restart Vihar dan pegunungan Shatrunjay membuka kembali bagi para peziarah.
·         Mauna Agiyaras: Ini adalah hari yang sangat menguntungkan sebagai benar-benar 150 Kalyanaks (dalam 10 Bhumies Karma) telah terjadi. Dalam Bharat itu adalah hari ulang tahun Diksha Kalyanak dari 18th Tirthankar Aarnathj, Kevalghyan Kalyanak, untuk ke-21 Tirthankar Neminathji dan Kelahiran, Diksha dan Keval Ghyan Kalyanak untuk ke-19 Tirthankar Mallinathji. Setiap kegiatan relegius dilakukan pada hari ini lebih bermanfaat daripada hari lain. Terutama kita mengamati diam, tetap dalam meditasi sepanjang hari. Cepat dilakukan pada hari ini memberikan buah dari 150 puasa.
·         Poh Dasmi: Tiga hari puasa (sebagian atau lengkap) jatuh pada VAD 9, 10 hari-11 Margshirsh.Tiga Kalyanaks dari 23 Tirthankar Parshvanathji di Magshirsh.

·         Navpad:Oli Parva - puasa parsial, satu kali makan sehari tanpa vigai, sembilan hari

berurutan dan meditasi diarahkan ke Navpad atau Siddhachakra Aradhna, biasanya jatuh pada (April dan Oktober) Lunar bulan Chaitra & Aso dari 7 hingga hari ke-15.
·         Mahavira Janma: Chaiitra Shukla Teras Anda Simbolik Snatra Pooja dilakukan. Jain berkumpul untuk mendengarkan Pesan Mahavira, presentasi dramatis Trishlas mimpi dan kelahiran Bhagwans.
·         Akshay Trutiya: Vaishak Shukla Trija-Bhagwan Rishabhdev bisa mendapatkan yang tepat alm (dengan air tebu) setelah 400 hari puasa. Jain memberi penghormatan kepada Palitana atau Hastinapura Tirth hari ini.
·         Paryushan Parva: Parva ini dikenal sebagai raja semua parvas Kehidupan Mahavira. Digmbara merayakan selama sepuluh hari - setiap hari selama 10 atribut nyata jiwa juga disebut Das-Lakshna Parva.
·         Perayaan Diwali: Perayaan Diwali menandai peringatan Mahavira. Ketika Mahavira meninggalkan tubuh-Nya di bumi selamanya, itu adalah malam gelap Aso Amas. 18 Kings di jemaat memutuskan untuk menerangi lampu-Divas. Ini menciptakan cahaya yang luar biasa. menandakan bahwa pengetahuan Mahavira masih hidup.[32]
























BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Agama Jain adalah agama yang termasuk tidak mengakui adanya system kasta.Sebab sistem kasta telah menciptakan benih permusuhan dan kebencian antar golongan.
Dan orang Jain mempercayai ajaran itu Tiga Ratna Jiwa (The Three Jewels of Soul), yaitu :Pengetahuan yang benar, Kepercayaan yang benar, Tindakan yang benar. Sehingga mereka akan mendapatkan suatu kesempurnaan dalam hidup serta dapat melawan kebebasan itu yang terpendam di dalam diri manusia sendiri.  













BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1.      Prof. Dr. Shalaby Ahmad, , Agama-Agama Besar di India. PT Bumi Aksara Jakarta,  1998.
2.      Sou’yb, Joesoep, Agama-Agama Besar Di Dunia. PT Al- Husna Zikra, Jakarta, 1996.
4.      Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI).
5.      Abdullah al-Maghlaut, bin Sam.  Atlas Agama-Agama.
6.      Ali, Mukti, Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kali Jaga Press, 1988).
7.      I.B. Putu Suamba, Dasar-Dasar Filsafat India, (Denpasar: Mabhakti, 2003).
8.      J, O’Neil Michael & J Sydney Jones. World Religions Biography 2.
9.      Ahmed, Moinuddin. Religious Of All Mankind. (Kalan Mahal, New Delhi).


[1] Joesoep sou’yb, agama-agama besar di dunia, penerbit pt. Al Husna Zikra, h. 128
[2]  Sami bin Abdullah al-Maghlaut, Atlas Agama-agama, h. 563
[3] Ibid
[4] Sami bin Abdullah al-Maghlaut, Atlas Agama-agama, h. 564
[5] Prof. Dr. Ahmad Shalaby, Agama-Agama besar di India, Bumi Aksara. h. 96
[6] Ibid
[7] Moinuddin Ahmed, Religious Of All Mankind. Kalan Mahal: New Delhi. 1994. Hal 58.
[8]http://en.wikipedia.org/wiki/Jainism
[9] Joesoep sou’yb, agama-agama besar di dunia, penerbit pt. Al Husna Zikra, h. 133-134
[10]http://anharululum.blogspot.com/2011/04/mengetahui-sekilas-tentang-agama.htm
[11] Joesoep sou’yb, agama-agama besar di dunia, penerbit pt. Al Husna Zikra, h.136
[12]Ali, mukti, agama-agama di Dunia, 158-163



[16]Ibid
[17]Ibid
[18] Michael J O’neil and J Sydney Jones, World Religions, Biographies 2. Hal. 243.
[19] Joesoep sou’yb, agama-agama besar di dunia, penerbit pt. Al Husna Zikra, h. 140-141
[20] Michael J O’neil and J Sydney Jones, World Religions, Biographies 2. Hal. 243.
[21]Ibid. Hal.243
[22] Joesoep sou’yb, agama-agama besar di dunia, penerbit pt. Al Husna Zikra, h. 140-141
[23] Ibid
[24] Prof. Dr. Ahmad Shalaby, Agama-Agama besar di India, Bumi Aksara. h. 107
[25] I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, (Denpasar: Mabhakti, 2003), h 315-16
[26] Ibid, h. 316
[27] I.B. Putu Suamba, Dasar-dasar Filsafat India, h. 319.
[28] http//
[29] http//
[30]http//
[31]http//blognovihandayani
[32]ibid

1 komentar:

informasi menarik tentang agama Jain

Posting Komentar